Jumat, 12 November 2010

Live Review Ugal-Ugalan nan Pretentious: Highoctane Halloween

Oleh: Mochamad Abdul Manan Rasudi


Halloween Lokal, Setan Kolot, dan Horor Kontemporer
Titimangsa:
31 Oktober 2010
Perayaan Horor Multi Era di Eastern Promise, Kemang


Kalau saya tak salah ingat, malam itu Soleh Solihun (kali ini berarmor kaos merah, rompi kulit, serta celana jeans) membuka acara itu dengan sangat rendah hati, “Selamat datang di acara Highoctane Halloween. Saya juga tidak mengerti apa itu Halloween!” Yang benar saja, Bung, anda kan penulis feature canggih di majalah musik paling akurat, masa’ Halloween saja [pura-pura] tak tahu?

Kamis, 28 Oktober 2010

Seattle Sound dan Subkultur di Belakangnya






Oleh: Hizkia Joko Pransetyo


My girl, my girl, where will you go
I'm going where the cold wind blows
In the pines, in the pines
Where the sun don't ever shine
I would shiver...the whole night through

(Nirvana "Where Did You Sleep Last Night?" - MTV Unplugged)

Patti Smith mengatakan ketika Kurt Cobain menyanyikan larik terakhir "I would shiver...the whole night through," suara serak Kurt seperti menusuk sampai ke tulang-tulangnya. Kurt dapat membangun makna dari lagu tersebut, meski suaranya tidak seindah Sam Cooke ataupun Aretha Franklin, suara kering melengking, rapuh, ciri khas musisi asal kota Seattle tersebut dapat menyentuh orang-orang yang mendengarnya. Kurt Cobain dan band yang dibangunnya, Nirvana, memiliki ciri khas tersendiri, yaitu ciri khas Seattle Sound atau yang lebih populer disebut banyak orang "Grunge." Seattle Sound awal perkembangannya dimulai ketika era Jimi Hendrix yang merupakan musisi asli kota Seattle. Jimi Hendrix memperkenalkan literatur permainan gitar penuh eksploitasi distorsi yang high and low, feedback gitar yang meraung-raung, dan sesekali serangan-serangan fuzz. Setelah Jimi Hendrix menyingkir ke London, Inggris, Seattle Sound yang digaungkan Jimi Hendrix seakan terbang begitu saja dan dianggap menjadi bagian dari sound Inggris, terlebih lagi ketika Jimi Hendrix meninggal. Perkembangan Seattle Sound seakan berhenti sampai di situ, tidak ada lagi gairah di kota Seattle.

Jumat, 22 Oktober 2010

Live Review Picisan nan Ugal-Ugalan: Santay-Santay Tengah Pekan

Oleh:
Moch. Abd. Manan Rasudi








Teruntuk siapa pun yang membuat alisku menari[1]


Sudah lihat potongan malam yang kukirimkan lewat kotak pesan akun Facebook-mu?

Ku potong malam itu untukmu karena seharusnya kau datang bersamaku ke Jalan Jaksa, Kamis [14/10] lalu Kawan. Jalan Jaksa, yang kerap dikutuk dan dilabeli “Mekah”nya bule kere di Jakarta, memang tak pernah berubah. Masih glamor dengan klub picisan yang me-reggae-kan semua lagu yang pernah ditulis sejak Hawa memutuskan hamil,  manusia kaukasus yang memegang tiang listrik sembari melepas semua muntahannya atau tukang nasi goreng yang dipaksa mengerti  bahasa bule demi menghidupi anak istrinya. Hanya saja, beberapa scenester malam itu bergegas menggelar sebuah gig kecil-kecilan, gig santay, kata mereka, yang mengubah sejenak keriuhan Jalan Jaksa, ya sejenak tapi inilah alasan kenapa ku potong malam itu untukmu karena, sejatinya, kau memang seharusnya di sana bersama note kecil, tawa riang, dan keangkuhanmu.

Rabu, 31 Maret 2010

Musik Kini Kandas di Rerumputan

Oleh:
Hizkia Joko Pransetyo

 
Jika ingin mendadak menjadi jutawan, ciptakan lagu, aransemen, lalu rekam di dalam studio rekaman, kemudian kirim ke salah satu label musik terkemuka. Analoginya memang seperti itu jika kita hidup sekitar 2 dasawarsa ke belakang, ketika Sheila On 7 memperkenalkan akronim 'band jutaan kopi' yang disematkan ke pundak mereka. Erros Chandra (baca: gitaris & frontman band Sheila On 7) mendapatkan gelar pria lajang muda terkaya seantero Indonesia saat itu. Mimpi menjadi jutawan menjadi hal yang tidak ditabukan lagi. Band dan label musik menjadi simbiosis mutualisme yang sama-sama saling menguntungkan, pembajakan belum terlalu menggila, minat masyarakat membeli kaset ataupun CD asli masih tinggi. Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, dunia industri musik Indonesia sudah diambang jurang, jika disentuh sedikit lagi akan jatuh ke dalam labirin kegelapan yang tiada putus-putusnya. Label musik telah menjadi gurita kapital terbesar dalam sejarah permusikan Indonesia, yang melilit para seniman musik Indonesia dari segala penjuru. Label musik telah melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap musisi Indonesia. belakangan banyak label rekaman melakukan ekspansi bisnis dengan membuka divisi manajemen artis. Hal ini justru bertentangan dengan esensi awal dari label itu sendiri. Namanya saja sudah label rekaman, seharusnya berhubungan dengan rekaman, penjualan kaset, CD, NSP (Nada Sambung Pribadi), dan sebagaimana mestinya yang berkorelasi dengan rekaman.

Minggu, 28 Maret 2010

[1977] Guruh Gipsy

Oleh:
Manan Rasudi

Artis
Guruh Gipsy

Album
Guruh Gipsy

Tahun
1977


Konon Sungsang Lebam Telak (SLT), sekelompok musisi Free Jazz nyeleneh lokal, pernah mencibir kebiasaan kita mendewakan musisi luar daripada musisi lokal. Jika kabar ini benar, maka semestinya kita hanya bisa mengangguk setuju. Bukankah kita lebih dulu mempromosikan Led Zeppelin atau Deep Purple pada rekan kita yang hendak “belajar” mendengarkan Hard Rock klasik? Lalu, adakah teman kita yang menganjurkan mendengarkan Opera Ken Arok lebih dulu sebelum The Wall?

Di luar itu, cobalah minta referensi album Progressive Rock 70an yang layak didengarkan, lalu pastikan berapa kepala menuntun anda untuk mendengarkan

Dari Crong Crong sampai Ndang Ndut

Oleh:
Sulaiman Harahap




Ketika abad 20 baru saja bergulir, umpatan buaya kroncong, werklozen (gelandangan), klootzaken (dapat berarti bajingan) atau real jerks (orang-orang tolol), sering dilontarkan kaum elite pribumi dan Eurasia kepada peminat musik keroncong (Frederick, 1982: 105). Ini menandakan wajah musik keroncong saat itu masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat kelas atas. Mungkin karena musik keroncong yang berasal dari jalanan sehingga dianggap kampungan.

Nama "keroncong" diangkat dari

Straight Edge: Udara Segar di Bawah Tanah

Oleh:
Omar Azis

I'm a person just like you

But I've got better things to do
Then sit around and fuck my head
Hang out with the living dead
Snort white shit up my nose
Pass out at the shows
I don't even think about speed
That's something I just don't need
I've got the straight edge


(Minor Threat – Straight Edge)



Sesuai dengan isi dari lirik yang menolak alkohol dan obat-obatan terlarang, pergerakan dan gaya hidup baru ini secara umum menekankan penolakan terhadap penggunaan zat adiktif bagi para penganutnya dan mengkampanyekan hidup sehat. Pergerakan ini dikenal dengan nama Straight Edge – yang biasa dituliskan dengan sXe atau xXx - sesuai dengan judul lagu tersebut.

Para penganut gaya hidup ini mempunyai semacam simbol yang menjadi perlambang identitas mereka diantara komunitas Punk lainnya. Simbol yang paling dikenal diantaranya adalah huruf “X” besar dan “xXx”. Simbol ini